Amplop lusuh itu berusia 32 tahun. Dan nama pengirimnya, Soedihartono, disamarkan.
Tetapi ini nama penting, karena itulah nama asli Ki Pandjikusmin, penulis cerpen Langit Makin Mendung. Peneliti Ulrich Kratz di dalam buku daftar nama
sastrawan Indonesia juga mencantumkan nama itu sebagai nama asli Ki
Pandjikusmin. Inilah penulis cerpen yang sebenarnya dari segi artistik sangat
tidak menarik yang pada 1968 mengundang reaksi umat Islam dan menyeret H.B.
Jassin ke muka pengadilan. Cerpen ini pula yang mengakibatkan pecahnya sebuah
polemik sastra berkepanjangan hingga dua tahun lamanya yang meributkan soal
fantasi, kebebasan mencipta, dan agama .
Jassin bersikukuh tak mengungkap nama pengarang ataupun identitas lainnya. Dia
maju ke meja pengadilan sebagai penanggung jawab, dan hingga akhir hayatnya 40
hari silam, nama Ki Pandjikusmin tetap misterius. Kekukuhan H.B. Jassin untuk
tak membeberkan identitas Ki Pandjikusmin bahkan kepada istrinya adalah
konsistensi. Tetapi karena unsur misterius itu pula muncul berbagai dugaan yang
ganjil, bahkan lucu, tentang identitas penulis ini. Siapakah Ki Pandjikusmin?
Marilah kita melakukan kilas balik. Cerpen Langit Makin Mendung dipublikasikan
di majalah Sastra bulan Agustus 1968. Tidak lama setelah cerpen itu
dipublikasikan, pihak Kejaksaan Tinggi Sumatra melarangnya karena dianggap
menghina kesucian agama Islam. Ratusan eksemplar majalah Sastra disita pihak
berwajib dari agen-agen dan toko-toko buku di Kota Medan. Tindakan itu
menimbulkan reaksi kalangan sastrawan di Jakarta ataupun Medan.
Di Medan, Zakaria M. Passe, Sori Siregar, dan Rusli A. Malem membuat stensilan
protes. Di Jakarta, Trisno Sumardjo, D. Djajakusuma, Umar Kayam, Taufiq Ismail,
dan Slamet Sukirnanto menandatangani pernyataan protes.
Pada 22 Oktober 1968, lewat redaksi Harian Kami, Ki Pandjikusmin mencabut
cerpennya dan menganggap tak pernah ada. “Sebermula sekali bukan maksud saya
untuk menghina agama Islam, tujuan sebenarnya adalah semata-mata hasrat pribadi
saya untuk mengadakan komunikasi langsung dengan Tuhan, Nabi Saw, sorga dll. Di
samping menertawakan kebodohan di masa regime Soekarno. Tapi rupanya saya telah
gagal, salah menuangkannya dalam bentuk cerpen; alhasil mendapat tanggapan di
kalangan umat Islam sebagai penghinaan terhadap agama Islam,” demikian Ki
Pandjikusmin.
Tapi, kehebohan berlanjut di Jakarta. Kantor majalah Sastra di Kramat Sentiong
43 didatangi sekitar 50 pemuda. Mereka mencorat-coreti dinding: HB Jassin
Kunjuk, HB Jassin tangan kotor Gestapu PKI, Ini Kantor Lekra, Majalah Sastra
Anti Islam. Penanggung jawab majalah Sastra, Darsjaf Rachman dan H.B. Jassin,
pada 28 Oktober 1968 akhirnya mengeluarkan surat pernyataan maaf. Tapi suasana
bertambah panas ketika Menteri Agama K.H. Mohd. Dahlan menyatakan bahwa cerpen
Langit… menghina Tuhan, agama, para nabi, malaikat, kiai, Pancasila, dan UUD
1945, dan menganggap penulisnya atau penanggung jawabnya patut diajukan ke muka
pengadilan.
Setelah melalui silang pendapat seru, akhirnya H.B. Jassin diajukan ke
pengadilan. Di persidangan, Jassin menolak membeberkan identitas Ki
Pandjikusmin. Sikap itu berpegang pada Undang-Undang Pers 1966 yaitu bila sang
pengarang sendiri tidak membuka identitasnya, redaksi mempunyai hak tolak untuk
memberitahukan identitas pengarang sesungguhnya. Tak tampilnya Ki Pandjikusmin
mengundang banyak spekulasi. Setahun sesudah peristiwa, tajuk rencana Indonesia
Raja masih menulis: Ki Pandjikusmin, Tampillah Engkau Sekarang Sebagai Ksatria.
Belum lagi banyak tafsiran tentang Ki Pandjikusmin. Ada anggapan Ki
Pandjikusmin adalah singkatan dari “kibarkan panji-panji komunis
internasional”. Ada yang menduga Ki Pandjikusmin tak lain adalah H.B. Jassin
sendiri. Dalam tanya-jawab persidangan, H.B. Jassin mengatakan bahwa sang
pengarang adalah pelaut. Alamatnya berpindah-pindah. Sampai saat pengadilan
saja, Jassin mengaku hanya mengenal dia melalui surat-menyurat.
Setelah meneliti surat-surat H.B. Jassin dan menemukan beberapa kertas lusuh
tulisan tangan asli Ki Pandjikusmin, TEMPO berkesimpulan alamat “pengarang
misterius” ini memang berpindah-pindah dan terkesan menutup diri. Tanggal 31
Juli 1967, saat mengirim cerpen berjudul Bintang Maut, alamatnya di Kebonkosong
Bunderan No. 94 F, Jakarta. Dalam surat pengantarnya ia mengatakan bila tak
memenuhi syarat, mohon cerpen dikembalikan. Oktober 1967, H.B. Jassin menjawab
ke alamat itu: “Cerpen saudara, Bintang Maut, yang dikirim dengan nama samaran
Ki Pandjikusmin, sedianya telah kami setujui untuk dimuat dalam majalah
Horison. Kebetulan, bulan November, Sastra akan terbit kembali. Dengan seizin
redaksi Horison, bolehkah kami memuat cerpen Saudara itu dalam majalah Sastra?”
Di akhir surat, Jassin melampirkan formulir daftar pengarang dan meminta Ki
Pandjikusmin mengisinya untuk dokumentasi. Sekaligus, Jassin meminta ia
melampirkan foto.
Surat itu dijawab oleh Ki Pandjikusmin pada 12 Oktober 1967 ke rumah Jassin,
Jalan Siwalan 3 Mahoni. Anehnya, alamatnya berbeda dan dikirim dari Jawa Timur,
yakni Jalan Krida No. 5, Probolinggo. Isinya adalah dia tak berkeberatan
apabila naskahnya dimuat di majalah Sastra, tapi dia tidak mau mengisi lampiran
dan foto. Alasannya, sebagai pengarang, karya-karyanya dianggap belum memadai
dan memuaskan hati.
Bintang Maut akhirnya dimuat dalam majalah Sastra pada November 1967. Cerpen
Domba Kain selanjutnya dimuat di majalah Sastra edisi Mei 1968. Artinya,
sebelum Agustus 1968, sudah dua cerpen Ki Pandjikusmin yang dimuat di Sastra.
Dalam dokumentasi H.B. Jassin, TEMPO juga menemukan naskah Ki Pandjikusmin
berjudul Hujan Mulai Rintik, yang merupakan naskah sambungan cerpen Langit
Makin Mendung dan belum pernah dipublikasikan.
Syahdan, pada 1970, majalah Ekspres pimpinan Goenawan Mohamad menurunkan
laporan utama tentang H.B. Jassin dan Ki Pandjikusmin. Adalah Redaktur
Pelaksana Usamah yang berhasil menemuinya. Artikel majalah Ekspres, yang antara
lain ditulis oleh redaktur Taufuq Ismail, itu tak menyebut nama asli Ki
Pandjikusmin dan juga tak menampilkan foto Ki Pandjikusmin. Majalah ini juga
kemudian menulis identitas sang “misterius” ini agak lengkap.
Pandjikusmin lahir dari keluarga Islam. Nama Kusmin diambil dari nama ayahnya
saat kecil, sementara Pandji nama kakeknya dari pihak ibu. Ayahnya menikah lagi
dalam pengungsian pada 1945, di Malang. Sejak berumur lima tahun, ia ikut ibu
tiri. Ibu tirinya adalah seorang Protestan. Ia disekolahkan di sekolah Kristen
di Malang dan oleh ibunya dan dididik sebagai Protestan.
Semasa sekolah dasarnya di Malang, ia sering tak naik kelas. Tingkah lakunya
bandel, sehingga ibu tirinya mengirim ke Asrama Katolik Boro di Kulonprogo,
Yogya. Selama tiga tahun dia diasuh oleh Pastor Harsosusanto dan Bruder
Themoteus. Di sinilah ia kemudian dibaptis menjadi seorang Katolik. Setamat SD
di Bruderan Boro, Kulonprogo, ia melanjutkan studi ke SMP Kanisius Salatiga.
Tahun 1956, lulus dari SMP Kanisius, ia pergi ke Semarang. Di Semarang, ia
masuk SMA Protestan—yaitu SMA Masehi, tapi ia tetap Katolik. Beberapa bulan
kemudian, ayahnya, yang telah menetap di Jakarta, menikah kembali. Ibu tirinya
meninggal. Upacara pernikahan secara Islam ini mengetuk hatinya. Penghulu dan
doa-doa yang dibaca membuat ia terkenang akan masa kecilnya. Sejak itu, Ki
Pandjikusmin memutuskan kembali masuk Islam. Ia meninggalkan SMA Masehi
Semarang, lalu akhirnya pindah ke Akademi Pelayaran Nasional. Selama enam tahun
ia menjalani wajib dinas di Jakarta.
Setelah heboh cerpen Langit Makin Mendung, Ki Pandjikusmin ternyata masih
mengirim naskah ke Horison. Pada 1970, ia mengirim cerpen berjudul Petasan
dalam Sampah. Naskah itu tidak dimuat karena tidak lolos kriteria Taufik
Ismail. “Kalau saya jadi redaktur Sastra, Langit Makin Mendung pun tidak saya
loloskan. Itu cerpen jelek. Metafora Ki Pandjikusmin sangat sederhana dan
kekanakan. Tuhan melayang di atas, memakai kacamata seperti orang tua. Imajinya
begitu miskin,” tutur Taufiq kepada Dharmawan Sepriyossa dari TEMPO. Pada 20
Oktober 1971, sang pengarang misterius mengirim cerpen berjudul Dia Tidak
Tidur. Yang ini dimuat di Horison edisi Desember 1972. Bila kita tilik alamat
suratnya, kini ia berpindah lagi, yaitu Jalan Perhutani I Jalan Rajawali 40
Surabaya. Jadi, semenjak 1967, berdasarkan surat-surat lusuh itu, Ki
Pandjikusmin tampaknya telah berpindah empat kali: Jakarta, Probolinggo,
Singapura, dan Surabaya.
Selepas tahun 1972, kiriman karya-karyanya tak dapat ditemukan lagi pada
arsip-arsip perpustakaan Jassin. Adakah kemampuan menulisnya punah? Bila
demikian, berarti Ki Pandjikusmin hanya berhasil menulis segelintir cerita.
“Dia tak terus-menerus menulis. Dia hanya meletup sekejap saja,” demikian
komentar Taufiq Ismail. Ataukah ia memakai nama samaran lain? Sesungguhnya,
seperti jawabannya kepada majalah Ekspres, kala itu tak ada niatan dalam
dirinya untuk menjadikan dirinya misteri. Ia mengatakan, sebenarnya ia bersedia
tampil saat itu. Tapi karena melihat Jassin sudah mengatasi sendiri, ia merasa
tak pantas melangkahi orang tua.